BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Kebutuhan energi dari bahan
bakar minyak bumi (BBM) di berbagai negara di dunia dalam tahun terakhir ini
mengalami peningkatan tajam karena BBM sudah merupakan kebutuhan vital bagi
manusia. Sebagian besar tenologi atau bahkan hampir semua alat transportasi
menggunakan bahan bakar minyak bumi sebagai sumber energi. Tidak hanya pada
negara - negara maju, tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia.
Tetapi BBM yang digunakan saat ini semakin langka. Hal ini dikarenakan
kuantitas minyak bumi pada lapisan bumi terus menipis akibat dari eksploitasi
terus-menerus dan sifatnya yang tidak mudah untuk diperbaharui.Proses
pembentukan minyak bumi membutuhkan waktu berjuta-juta tahun sehingga mengakibatkan
minyak bumi semakin krisis dan harganya juga meningkat (Simamora, 2008).
Untuk mengantisipasi
terjadinya krisis tersebut, saat ini telah dikembangkan pembuatan sumber energi
terbarukan. Salah satu sumber energi yang bisa dimanfaatkan
sebagai energi terbarukan adalah bioetanol. Selain bisa menjadi pengganti BBM
bioetanol juga mampu sebagai Octane Booster, artinya zat yang mampu
menaikkan nilai oktan dengan dampak positif terhadap efisiensi bahan bakar dan
menyelamatkan mesin. Fungsi lain adalah oxigenating agent, yakni
mengandung oksigen sehingga menyempurnakan pembakaran dengan efek positif meminimalkan
pencemaran udara dan bahkan sebagai Fuel extender, yang dapat menghemat
bahan bakar fosil
(Prihandana, 2007).
Bioetanol merupakan etanol
yang berasal dari sumber hayati, misalnya tebu, nira sorgum, ubi
kayu, garut, ubi jalar, jagung, jerami, dan kayu. Bahan baku pembuatan
bioetanol terdiri dari bahan - bahan yang mengandung karbohidrat, glukosa, dan
selulosa. Tetapi disisi lain penggunaan bahan baku tersebut secara besar-besaran dapat mengganggu kebutuhan pangan karena bahan
yang mengandung karbohidrat, glukosa, dan selulosa sebagian besar merupakan bahan pangan.
Oleh karenanya, diperlukan bahan baku lain yang lebih efektif dan efisien yang
tidak berfungsi sebagai bahan pangan, salah satunya adalah tongkol
jagung. Tongkol jagung yang termasuk biomassa mengandung lignoselulosa dan sangat
dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi bioetanol karena memiliki kandungan
selulosa yang cukup banyak. Apalagi jagung adalah salah satu produk pertanian
yang banyak dihasilkan di sekitar Peleihari, Kalimantan
Selatan. Pada tahun 2009
produksi jagung di Peleihari mencapai 79.258 ton dan meningkat menjadi 80.922
ton pada tahun 2010 (Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 2008). Pemanfaatan jagung saat ini sangat beraneka ragam mulai
bahan pangan hingga bioenergi. Buah jagung terdiri dari 30% limbah yang berupa
tongkol jagung. Sehingga dari jumlah limbah tersebut dapat dikatakan cukup banyak dan akan menjadi sangat potensial jika dapat
dimanfaatkan secara tepat (Gozan, 2007).
Proses
pembuatan bioetanol terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah persiapan
bahan baku, yang berupa proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa dengan cara
enzimatis atau dengan asam encer atau pekat. Tahap kedua berupa proses
fermentasi yaitu mengubah glukosa menjadi etanol sedangkan tahap ketiga yaitu
pemurnian hasil dengan destilasi.
1.2
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pengaruh konsentrasi hidrolisa
terhadap hasil glukosa yang di peroleh?
2. Bagaimana pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar alkohol yang dihasilkan?
1.3
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian
ini bertujuan untuk:
1.
Mempelajari pengaruh konsentrasi katalis terhadap kadar glukosa.
2.
Mempelajari pengaruh
waktu fermentasi dalam memproduksi bioetanol dari tongkol
jagung.
3.
Menghitung
kadar bioetanol dari tongkol
jagung.
Manfaat
dari penelitian yang akan dilakukan adalah:
1.
Memberikan kontribusi yang
nyata dalam mewujudkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya
metode pengolahan bioetanol.
2.
Sebagai sarana pembelajaran
dalam pemanfaatan bahan yang terbuang dan penerapan teknologi proses pengolahan
bioetanol yang dapat diaplikasikan dalam skala industri.
3.
Dapat dijadikan alternatif
solusi untuk mengatasi krisis energi dengan menggunakan bioetanol sebagai bahan
bakar terbarukan yang ramah lingkungan dan dapat mensubstitusi premium dengan
harga yang relatif lebih murah.
4. Peran nyata mahasiswa bagi lingkungan, masyarakat, akademis,
instansi, dan industri.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Tongkol Jagung
Jagung merupakan tanaman semusim
(annual). Satu siklus hidupnya
diselesaikan dalam 80-150 hari. Paruh pertama dari siklus merupakan tahap
pertumbuhan vegetatif dan paruh kedua untuk tahap pertumbuhan generatif. Jagung
memiliki bunga jantan dan bunga betina yang terpisah (diklin) dalam satu tanaman
(monoecious). Tiap kuntum bunga
memiliki struktur khas bunga dari suku Poaceae,
yang disebut floret.
Pada jagung, dua floret dibatasi oleh sepasang glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak
tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence).
Serbuk sari berwarna kuning dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam
tongkol. Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada
umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif meskipun
memiliki sejumlah bunga betina. Beberapa varietas unggul dapat menghasilkan
lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut sebagai varietas prolifik. Bunga
jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan 2-5 hari lebih dini daripada
bunga betinanya (protandri) (anonim1, 2011).
Tongkol pada jagung
adalah bagian dalam organ betina tempat bulir duduk menempel. Istilah
ini juga dipakai untuk menyebut seluruh bagian jagung betina ("buah jagung").
Tongkol terbungkus oleh kelobot (kulit "buah jagung"). Secara morfologi, tongkol jagung adalah tangkai utama malai yang termodifikasi, Malai
organ jantan pada jagung dapat memunculkan bulir pada kondisi tertentu. Tongkol jagung
muda, disebut juga babycorn, dapat dimakan dan dijadikan sayuran. Tongkol
yang tua ringan namun kuat, dan menjadi sumber furfural, sejenis monosakarida
dengan lima atom karbon. Tongkol jagung
tersusun atas senyawa kompleks lignin, hemiselulose dan selulose. Masing-masing merupakan
senyawa-senyawa
yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara biologi. Selulose merupakan
sumber karbon yang dapat digunakan mikroorganisme sebagai substrat dalam proses
fermentasi untuk menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Suprapto dan Rasyid, 2002).
Karakteristik kimia dan fisika dari tongkol jagung
sangat cocok untuk pembuatan tenaga alternative (bioetanol), kadar senyawa kompleks
lignin dalam tongkol jagung adalah 6,7-13,9%, untuk hemiselulose 39,8%, dan selulose
32,3-45,6%. Selulose hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam (Gambar 1.1),
melainkan selalu berikatan dengan bahan lain yaitu lignin dan hemiselulose.
Serat selulose, alami terdapat di dalam dinding sel tanaman dan material vegetatif lainnya. Seluose murni mengandung
44,4% C; 6,2% H dan 49,3% O. Rumus empiris selulose adalah (C6H10O5)n,
dengan banyaknya satuan glukosa yang disebut dengan derajat polimerisasi (DP), dimana jumlahnya
mencapai 1.200-10.000 dan panjang molekul sekurang-sekurangnya 5.000 nm. Berat molekul
selulose rata-rata sekitar 400.000.
Mikrofibril selulose terdiri atas bagian amorf (15%)
dan bagian berkristal (85%). Struktur berkristal dan adanya lignin serta hemiselulose
disekeliling selulose merupakan hambatan utama untuk menghidrolisa selulose
(Sjostrom, 1995).
Pada proses hidrolisa yang sempurna akan mengahasilkan
glukosa, sedangkan proses hidrolisa sebagian akan menghasilkan disakarida sel ebiose.
Gambar 1.1
Struktur selulose (Cole dan Fort, 2007).
Hemiselulose terdiri atas 2-7 residu gula yang berbeda (Gambar 1.2).
Hemiselulose berbeda dengan selulosa karena komposisinya teridiri atas berbagai
unit gula, disebabkan rantai molekul yang pendek dan percabangan rantai
molekul. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk hemiselulosa dapat dibagi
menjadi kompleks seperti pentosa, heksosa, asam keksuronat dan deoksi-heksosa
(Fengel dan Wegener, 1995; Nishizawa, 1989). Hemiselulosa ditemukan dalam tiga
kelompok yaitu xylan, mannan, dan galaktan. Xylan dijumpai dalam bentuk
arabinoxylan, atau arabino glukurunoxylan. Mannan dijumpai dalam bentuk
glukomannan dan galaktomannan. Sedangkan galaktan yang relatif jarang, dijumpai dalam bentuk arabino galaktan.
Gambar 1.2
Struktur hemiselulose (Cole dan Fort, 2007).
Lignin adalah polimer aromatik kompleks yang terbentuk melalui polimerisasi tiga
dimensi dari sinamil alkohol (turunan fenil propane) dengan bobot melekul mencapai 11.000 (Gambar
1.3). Dengan kata lain, lignin adalah makromolekul dari polifenil. Polimer
lignin dapat dikonversi ke monomernya tanpa mengalami perubahan pada bentuk
dasarnya. Lignin yang melindungi selulose bersifat tahan
terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter.
Gambar 1.3
Struktur lignin (Cole dan Fort, 2007).
2.2
Bioetanol
Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dengan cara
fermentasi menggunakan bahan baku hayati. Etanol adalah ethyl alkohol (C2H5OH)
yang dapat dibuat dengan cara sintesis ethylen
atau dengan fermentasi glukosa. Etanol diproduksi melalui hidrasi katalitik
dari etilen atau melalui proses
fermentasi gula menggunakan ragi Saccharomyces
cerevisiae. Beberapa bakteri seperti Zymomonas
mobilis juga diketahui memiliki kemampuan untuk melakukan fermentasi dalam
memproduksi etanol (Bambang
Prastowo, 2007).
Etanol adalah
senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen, sehingga dapat
dilihat sebagai derivat senyawa hidrokarbon yang mempunyai gugus hidroksil
dengan rumus C2H5OH.
Etanol merupakan
zat cair, tidak berwarna, berbau spesifik, mudah terbakar dan menguap, dapat
bercampur dengan air dengan segala perbandingan.
a. Sifat-sifat fisis etanol
1) Rumus molekul : C2H5OH
2) Berat molekul : 46,07 gram / mol
3) Titik didih pada 1 atm : 78,4°C
4) Titik beku : -112°C
5) Bentuk dan warna : cair tidak berwarna
(Perry, 1984)
b. Sifat-sifat kimia etanol
1) Berbobot
molekul rendah sehingga larut dalam air
2)
Diperoleh dari fermentasi gula
Pembentukan etanol
3)
Pembakaran etanol menghasilkan CO2 dan H2O
Pembakaran etanol
CH3CH2OH + 3O2
2CO2 + 3H2O + energi
(Fessenden & Fessenden, 1997)
Secara teoritis, hidrolisis glukosa akan
menghasilkan etanol dan karbondioksida. Perbandingan mol antara glukosa dan
etanol dapat dilihat pada reaksi berikut ini:
C6H12O6
→ C2H5OH + 2 CO2
Satu mol glukosa menghasilkan 2 mol ethanol dan 2 mol karbondioksida, atau
dengan perbandingan bobot tiap 180 g glukosa akan menghasilkan 90 g etanol.
Dengan melihat kondisi tersebut, perlu diupayakan penggunaan substrat yang
murah untuk dapat menekan biaya produksi etanol sehingga harganya bisa lebih
mudah. Penggunaan bioetanol di antaranya adalah sebagai bahan baku industri,
minuman, farmasi, kosmetika, dan bahan bakar. Beberapa jenis etanol berdasarkan
kandungan alkohol dan penggunaannya adalah (1) Industrial crude (90-94,9% v/v), rectified (95-96,5% v/v), (2) jenis etanol yang netral, aman untuk
bahan minuman dan farmasi (96-99,5% v/v), dan (3) etanol untuk bahan bakar, fuel grade etanol (99,5-100% v/v).
Keuntungan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternative pengganti minyak bumi adalah tidak memberikan tambahan netto karbondioksida pada lingkungan
karena CO2 yang dihasilkan dari pembakaran etanol diserap kembali
oleh tumbuhan dan dengan bantuan sinar matahari CO2 digunakan dalam
proses fotosintesis. Di samping itu, bahan bakar bioetanol memiliki nilai oktan
tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan peningkat oktan (octane enhancer) menggantikan senyawa
eter dan logam berat seperti Pb sebagai anti-knocking agent yang memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
Dengan nilai oktan yang tinggi, maka proses pembakaran menjadi lebih sempurna
dan emisi gas buang hasil pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor lebih baik.
Bioetanol bisa digunakan dalam bentuk murni atau sebagai campuran bahan bakar gasoline (bensin). Dibanding bensin,
etanol lebih baik karena memiliki angka research
octane 108,6 dan motor octane
89,7, angka tersebut melampaui nilai maksimum yang mungkin dicapai oleh
gasolin, yaitu research octane 88
(Perry, 1999).
2.3
Hidrolisa Asam Sulfat
Hidrolisis
asam adalah hidrolisis yang menggunakan asam yang dapat mengubah polisakarida
menjadi (pati) menjadi glukosa. Hidrolisis asam biasanya menggunakan asam
klorida (HCl) atau asam sulfat H2SO4. Asam klorida
bersifat sebagai katalisator pemecah karbohidrat menjadi gula, dan pada saat
fermentasi akan diuraikan dengan menggunakan Sacharomyces cerevisiae (ragi) menjadi alkohol (Anonim2,
2011).
Hasil hidrolisa menunjukan penurunan
kadar selulosa, hemiselulosa, dan lignin, disertai dengan naiknya jumlah kadar
gula pereduksi. Hal ini dikarenakan adanya pemecahan atau pemutusan
ikatan-ikatan glikosida pada selulosa dan hemiselulosa sehingga kadar glukosa
pereduksi meningkat. Menurut meyer (1978), proses hidrolisa adalah
suatu proses pemutusan
rantai polimer pati (C2H12O6)n menjadi
unit-unit monosakarida (C2H12O6). Penurunan
kadar lignin pada proses hidrolisa mempengaruhi peningkatan jumlah gula
pereduksi yang dihasilkan. Lignin cukup sulit
untuk di hidrolisis sehingga
perubahan menjadi glukosa pun lebih susah, akan tetapi dengan menggunakan asam kuat akan
dapat melepas lignin dari selulosa, maka selulosa akan mudah dihidrolisa
oleh air (Fredy, 2011).
Hidrolisa dengan menggunakan H2SO4
(asam kuat) dapat mempengaruhi kadar gula dalam tongkol
jagung, hal ini disebabkan karena kandungan yang terdapat pada tongkol jagung
yang berupa senyawa kompleks dapat dipecah sehingga menjadi senyawa sederhana
(glukosa), sehingga kandungan glukosa pada substrat tongkol jagung bertambah.
Dengan terbentuknya senyawa yang lebih sederhana akan memudahkan mikroba untuk
melakukan fermentasi.
Dari penelitian
lain, penentuan konsentrasi
hidrolisa menggunakan H2SO4 terbaik adalah 1 % pada
sampel baglog jamur. Variasi yang diujikan
adalah
sebagai
berikut.
No
|
Konsentrasi
H2SO4
|
||||
1% (µg/mL)
|
2% (µg/mL)
|
3% (µg/mL)
|
5% (µg/mL)
|
10% (µg/mL)
|
|
1
|
91,69
|
43,13
|
39,39
|
35,66
|
61,81
|
2
|
102,90
|
58,07
|
76,75
|
65,54
|
54,34
|
3
|
106,63
|
61,81
|
76,75
|
65,54
|
61,81
|
4
|
102,90
|
58,07
|
69,28
|
69,28
|
61,81
|
Rerata
|
101,03±6,47a
|
55,27±8,28b
|
65,54±17,78b
|
59,01±15,66b
|
59,94±3,37b
|
Keterangan:
a=beda signifikan b= tidak berbeda signifikan
Dalam proses hidrolisa menggunakan
asam kuat H2SO4, gugus H+ dari H2SO4 akan
memutus ikatan glikosida pada selulosa limbah baglog jamur menjadi gugus
radikal bebas. Gugus radikal bebasakan berkaitat dengan gugus OH- dari
air membentuk gula pereduksi. Rendahnya kadar gula pereduksi yang dihasilkan dari
proses hidrolisis asam disebabkan oleh konsentrasi larutan H2SO4 yang tinggi menyebabkan jumlah air dalam komposisi
larutan hidrolisa semakin sedikit, sehingga kebutuhan OH- sebagai
pengikat radikal bebas berkurang. Dari hasil perbandingan pada table diatas
konsentrasi H2SO4 1% menunjukan perbedaan yang signifikan
dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi
konsentrasi larutan H2SO4 pada larutan hidrolisa, maka
kandungan air dalam larutan semakin sedikit. Banyaknya radikal bebas yang
terbentuk dari pemutusan H+ dari H2SO4 tidak
dapat terbentuk menjadi kadar gula pereduksi, sebab OH- sebagai
pengikat radikal bebas berkurang dan glukosa yang terbentuk sedikit (Fredy, 2011).
Faktor-faktor yang
berpengaruh pada hidrolisis pati antara lain :
a. Suhu
Dari kinetika
reaksi, semakin tinggi suhu reaksi makin cepat pula jalannya reaksi. Tetapi
apabila proses berlangsung pada suhu yang tinggi, konversi akan menurun. Hal
ini disebabkan adanya glukosa yang pecah menjadi arang.
b. Waktu
Semakin lama
waktu hidrolisis, konversi yang dicapai semakin besar dan pada batas waktu
tertentu akan diperoleh konversi yang relatif baik dan apabila waktu tersebut
diperpanjang, pertambahan konversi kecil sekali.
c. Pencampuran pereaksi
Karena pati
tidak larut dalam air maka pengadukan perlu diadakan agar persentuhan
butir-butir pati dan air dapat berlangsung dengan baik.
d. Konsentrasi katalisator
Penambahan
katalisator bertujuan memperbesar kecepatan reaksi. Jadi semakin banyak jumlah
katalisator yang dipakai makin cepat reaksi hidrolisis. Dalam waktu tertentu
pati yang berubah menjadi glukosa juga meningkat.
e. Kadar suspensi pati
Perbandingan
antara air dan pati yang tepat akan membuat reaksi
hidrolisis berjalan cepat.
(Groggins,1992)
2.4 Fermentasi
Fermentasi adalah
proses terjadinya dekomposisi gula menjdi alkohol dan karbondioksida. Proses
fermentasi ini dimanfaatkan oleh para pembuat bir, roti, anggur, bahan kimia, para ibu rumah tangga dan lain-lain. Alkohol
dapat dibuat dari bahan penghasil karbohidrat apa saja yang dapat difermentasi
oleh khamir. Apabila padi-padian seperti jagung dan karbohidrat kompleks yang lain dipergunakan sebagai bahan
mentah, maka pertama-tama bahan tersebut perlu dihidrolisis menjadi gula
sederhana yang dapat difermentasikan (Pelczar dan Chan, 1988).
Menurut Rukmana dan
Yuniarsih (2001), berdasarkan produk yang difermentasi digolongkan menjadi dua
macam yaitu sebagai berikut:
1. Fermentasi
alkoholis yaitu fermentasi yang menghasilkan alkohol sebagai produk akhir disamping
produk lainnya, misalnya pada pembuatan wine, cider dan tape 18.
2. Fermentasi
nonalkoholis yaitu fermentasi yang tidak menghasilkan alkohol sebagai produk
akhir selain bahan lainnya, misalnya pada pembuatan tempe, antibiotika dan lain
-lain.
Hasil fermentasi
dipengaruhi oleh teknologi yang dipakai. Pemilihan mikroorganisme biasanya didasarkan pada jenis
karbohidrat yang digunakan sebagai medium. Misalnya untuk memproduksi alkohol
dari pati dan gula dipergunakan saccharomyces cerevisiae dan kadang-kadang
digunakan untuk bahan-bahan laktosa dari
whey (air yang ditinggalkan setelah
susu dibuat keju) menggunakan candida
pseudotropicalis. Seleksi tersebut bertujuan didapatkan mikroorganisme yang mampu ditumbuhkan dengan cepat dan
mempunyai toleransi terhadap konsentrasi gula yang tinggi, mampu menghasilkan
alkohol dalam jumlah banyak dan tahan terhadap alkohol tersebut (Said,
1987).
Menurut Schlegel
(1994), produksi utama alkohol adalah ragi, terutama dari stram Saccharomyces cerevisiae. Ragi-ragi,
seperti yang juga kebanyakan fungi merupakan organisme yang bersifat aerob.
Dalam lingkungan terisolasi dari udara, organisme ini meragikan karbohidrat
menjadi etanol dan karbon dioksida. Ragi sendiri adalah organisme aerob pada
kondisi anaerob. Dengan mengalirkan udara, maka peragian dapat dihambat
sempurna dengan memasukkan banyak udara. Saccharomyces
cerevisiae merupakan khamir yang penting pada fermentasi yang utama dan
akhir, karena mampu memproduksi alkohol dalam konsentrat tinggi dan fermentasi spontan (Sudarmaji, 1982)
Pembuatan etanol dengan
menggunakan ragi ini hanya bisa dilakukan secara langsung pada bahan yang
mengandung gula. Hal ini disebabkan karena ragi Saccharomyces cerevisiae tidak dapat menghasilkan enzim amilase. Oleh karena itu bahan yang
mengandung pati seperti singkong, harus diubah dahulu menjadi glukosa. Konversi
etanol maksimum yang bisa dihasilkan dari
Saccharomyces cerevisiae adalah 8-12%
(Hambali, 2009).
Berdasarkan pengukuran
diperoleh kandungan etanol optimum yaitu pada perbandingan massa 2:20 b/v
(penambahan ragi sebanyak 20 gram) dengan kandungan etanol sebesar 2,50% v/v (48 jam) dan 2,39% v/v (72 jam), kecuali
pada waktu 24 jam (pada penambahan ragi 15 gram) kandungan etanol sebesar 1,61%
v/v. Dalam penelitian ini proses fermentasi menghasilkan kadar
etanol optimum pada waktu 48 jam dengan kandungan etanol sebesar 2,15% v/v
(1,5:20 b/v) dan 2,50% v/v (2:20 b/v) setelah 48 jam terjadi penurunan kadar
etanol yang cukup signifikan, hal ini dapat disebabkan olehsuatu mekanisme
oksidasi lanjutan yang mengubah etanol menjadi senyawa asam karboksilat dan
turunannya.
Secara keseluruhan kondisi optimum
proses fermentasi yaitu pada massa ragi sebesar 20 gram (2:20 b/v) pada waktu
fermentasi selama 48 jam sesuai dengan literatur dimana pada kondisi larutan
glukosa 8-15 % dengan masa ragi 10% dari volume fermentasi (2:20 b/v) optimum
pada 40-50 jam (Wisnu dan Richana, 2006). Sedangkan kandungan etanol yang
dihasilkan pada penelitian ini optimum pada 2,50% v/v, hasil ini tidak sesuai
dengan literatur. Semestinya etanol yang dihasilkan bisa mencapai 8-10% v/v.
Hal ini mungkin disebabkan besarnya kontaminan
yang ada pada proses, mengingat bahan baku berasal dari sampah sehingga
membuat proses fermentasi etanol terhambat (Hambali, 2009).
Fermentasi
(pada pH 4 dan pH 5) menggunakan khamir Saccharomyces cerevisiae yang
sebelumnya khamir ini ditumbuhkan dalam Yeast
Ekstrak dan Malt Ekstrak (YM)
medium. Identifikasi senyawa bioetanol dilakukan dengan menggunakan
kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS). Serbuk tongkol jagung seberat
70,011 gram menghasilkan etanol sebanyak 6,7 mL (pada pH 4) dan 8,9 mL (pada pH
5) dengan warna jernih bening berbau khas etanol. Data kromatogram GC hasil
fermentasi menunjukkan kandungan etanol sebanyak 3,352% (pada pH 4) dan 4,452%
(pada pH 5).
(Fredy, 2011).
2.5 Distilasi
Distilasi adalah
suatu proses penguapan dan pengembunan kembali, yang dimaksudkan untuk
memisahkan campuran dua atau lebih zat cair ke dalam fraksi – fraksinya berdasarkan perbedaan titik didih. Pada
umumnya, pemisahan hasil fermentasi glukosa/dektrosa menggunakan sistem
uap-cairan, dan terdiri dari komponen – komponen tertentu yang mudah tercampur.
Umumnya destilasi berlangsung pada tekanan atmosfer, contoh dalam hal ini
adalah sistem alkohol air, yang pada tekanan atmosfer memiliki titik didih
sebesar 78 0C
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan di laboratorium
Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM)
Banjarbaru.
Variabel tetap
yang digunakan yaitu berat bahan baku 15 gram serbuk tongkol jagung dan waktu Hidrolisis selama 2 jam.Variabel yang berubah yaitu waktu fermentasi (3, 5, dan 7
hari) dankonsentrasi H2SO4 pada hidrolisis (0,1 N, 0,2 N,
0,5 N, dan 1 N).
3.1 Alat
Alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah seperangkat alat distilasi, seperangkat
alat hidrolisis, neraca analisis, blender, saringan, autoclave,
propipet, pipet volume, labu takar, gelas ukur, gelas beaker, piknometer, oven, erlenmeyer, pipet tetes, sendok, kertas
saring, pH meter.
3.2
Bahan
Bahan-bahan yang
digunakan adalah sebagai berikut tongkol jagung,
H2SO4, NaOH 0,1 N, fermipan,
Aquadest, urea, metil blue, fehling
A, fehling
B, dan glukosa murni.
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Proses Persiapan Bahan Baku
Perlakuan fisika terhadap tongkol
jagung meliputi pencucian, pengeringan, dan pengayaan. Pencucian dilakukan
untuk menghilangkan bahan-bahan yang terikut dalam tongkol seperti tanah,
cangkang dan kotoran lain. Pengeringan dilakukan pada suhu 100oC didalam oven selama 1 hari. Pengeringan
ini dilakukan untuk memudahkan dalam proses penggilingan serat tongkol jagung,
karena pada keadaan lembab tongkol jagung sukar untuk dihancurkan. Tahap
penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran tongkol jagung. Alat yang
digunakan adalah blender.
Tongkol yang sudah dihancurkan kemudian diayak.
3.3.2 Proses Hidrolisis
Proses hidrolisis diawali dengan memasukan 15 gram serbuk
tongkol jagung dan
750 mL larutan H2SO4 (0,1 N, 0,2 N, 0,5 N, dan 1 N) ke dalam labu leher tiga yang dihidupkan seperti pada Gambar 3.1 dan hidrolisis
dilakukan dengan temperatur 100oC selama 2 jam, disertai
pengadukan kemudian pemanas mantel dimatikan dan hasil yang diperoleh
didinginkan.
3.3.3 Uji Glukosa
Mengambil larutan yang sudah
dihidrolisa sebanyak 10 mL dan menetralkan dengan NaOH 0,1 N (
pH=7 ), dan mengencerkan dalam 100 mL labu ukur. Setelah itu uji blanko,
Fehling A + Fehling B masing – masing 5 mL dan stirrer dimasukkan ke dalam erlenmayer, erlenmayer di letakkan
diatas hot plate lalu dititrasi dengan menggunakan larutan
glukosa sambil dididihkan hingga berubah warna.
Didiamkan, lalu masukkan indikator metil biru lalu dititrasi lagi, hingga
terjadi endapan merah bata (0,5 gram glukosa dalam 100 mL aquadest). Seperti uji larutan blanko, uji glukosa pada pati juga
sama. Fehling A + Fehling B + sampel (hasil hidrolisa) masing – masing 5 mL dan distirrer kemudian dimasukkan ke dalam erlenmayer, erlenmayer di letakkan diatas
hot plate lalu dititrasi dengan menggunakan larutan
glukosa sambil dididihkan hingga berubah warna.
Didiamkan, lalu dimasukkan indikator metil biru lalu
dititrasi lagi, hingga terjadi endapan merah bata.
3.3.4 Pembuatan Starter
Mengukur pH dari larutan hasil
hidrolisis tersebut dengan pH meter dan tambahkan H2SO41
N sedikit demi sedikit, dihentikan penambahan sampai pH larutan mencapai 4,5 –
5,5. Larutan hasil hidrolisis diambil 20 mL, dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan
ditambahkan 0,01 gram urea dan fermipan 5 gram, erlenmeyer ditutup dengan menggunakan kertas saring,
dan diamkan pada suhu kamar selama 1 x 24 jam.
3.3.5 Proses Fermentasi
Proses fermentasi pada penelitian ini menggunakan
seperangkat alat fermentasi seperti Gambar
3.2 dengan proses
anaerob. Hasil hidrolisis diambil 100 mL dan
dimasukkan ke dalam botol, ditambahkan 0,05 gram urea, starter ke dalam botol. Fermentasi
dilakukan pada suhu 30°C dan waktu yang divariasikan yaitu 3 hari, 5 hari, dan 7 hari. Kemudian mendistilasi hasil fermentasi.
3.3.6
Proses Distilasi
Proses distilasi pada penelitian ini menggunakan
seperangkat alat distilasi seperti Gambar 3.3. Proses
distilasi diawali dengan menyaring larutan hasil fermentasi dengan kertas
saring, kemudian memasukkan filtrat yang dihasilkan ke dalam labu leher tiga
dan mendistilasinya. Proses distilasi berlangsung pada suhu ± 80oC
sampai distilat tidak menetes lagi. Kemudian menganalisa kadar etanol hasil
distilasi yang diperoleh.
3.3.7Analisis
Hasil Distilasi
Menentukan Kadar
Bioetanol Menggunakan Alkohol Meter
Analisa alkohol pada hasil distilasi menggunakan alkohol meter, cara
pengujiannya adalah menuangkan distilat ke dalam gelas ukur 50 mL sebanyak 40
mL, masukan alkohol meter, tunggu sampai alkohol meter konstan, baru di lihat angka yang tertera
pada alkohol meter tersebut.
3.4
Deskripsi Alat
Gambar 3.1 Rangkaian
alat hidrolisis
|
Gambar
3.2
Rangkaian alat fermentasi
Gambar
3.3
Rangkaian alat distilasi
H2O
|
CO2
|
Starter
|
Larutan
H2SO4
|
Selulosa
|
Tongkol
Jagung
|
Larutan
etanol
|
Distilasi
|
Fermentasi
|
Glukosa
|
Hidrolisis
|
Penyaringan
|
Proses
pengeringan dan penghalusan (resizing)
|
Etanol
(bioetanol)
|
Gambar
3.4 Diagram
Alir Pembuatan Bioetanol dari Tongkol Jagung
12
|
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Data Hasil Analisis Kadar Bioetanol
Tabel
4.1
Hasil Pengamatan Kadar Bioetanol setelah Distilasi
t Hidrolisa
(menit)
|
T
(oC)
|
N H2SO4
(N)
|
Kadar Glukosa
(%)
|
Waktu
(hari)
|
Kadar Bioetanol
(%)
|
120
|
100
|
0,1
|
5,83
|
3
|
4,5
|
5
|
7
|
||||
7
|
9
|
||||
0,2
|
6,5
|
3
|
6,8
|
||
5
|
8,5
|
||||
7
|
11
|
||||
0,5
|
7,5
|
3
|
7
|
||
5
|
10,5
|
||||
7
|
14
|
||||
1
|
1,17
|
3
|
1
|
||
5
|
1,8
|
||||
7
|
2
|
4.2
Pembahasan
Pada
penelitian ini untuk menghasilkan bioetanol, bahan utama yang digunakan berupa
tongkol jagung. Dimana tongkol jagung mengandung kadar senyawa kompleks dengan
lignin 6,7-13,9%, hemiselulose 39,8%, dan selulose 32,3-45,6%. Sedangkan
tahapan yang digunakan secara umum ada empat tahapan yaitu proses persiapan
bahan baku, proses hidrolisa, proses fermentasi, dan proses distilasi.
Pada
proses persiapan bahan baku tidak digunakan proses delignifikasi. Hal itu
dikarenakan kadar lignin di tongkol jagung yang cukup sedikit, sehingga dengan
proses hidrolisis pada suhu tinggi sudah dapat membantu melepaskan lignin dari
selulolsa dan hemiselulosa serta memecah lignin menjadi partikel yang lebih
kecil. Sedangkan lignin itu sendiri merupakan jaringan polimer fenolik yang
berfungsi sebagai perekat serat selulosa dan hemiselulosa. Sehingga dengan
lepasnya lignin dari matriks selulosa dan hemiselulosa tersebut menyebabkan
selulosa dan hemiselulosa cepat terhidrolisa dan kandungan glukosa pada
substrat tongkol jagung bertambah.
Pada
proses hidrolisis digunakan larutan asam sulfat encer pada konsentrasi 0,1N,
0,2N, 0,5N, dan 1N. Penggunaan asam sulfat pada konsentrasi yang berbeda
bertujuan untuk mencari konsentrasi yang tepat untuk menghasilkan gula
pereduksi paling tinggi dari substrat tongkol jagung. Sedangkan waktu yang
digunakan pada hidrolisis selama 120 menit dan dipertahankan pada suhu 100 oC.
Karena menurut Feneiet al., (2008),
bahwa waktu hidrolisis selama 120 menit merupakan waktu yang optimum dalam
menghasilkan gula pereduksi terbanyak. Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk
menyediakan glukosa yang akan dipergunakan sebagai sumber substrat mikroba.
Pada dasarnya prinsip hidrolisis adalah memutuskan rantai polimer bahan menjadi
unit-unit monomer yang lebih sederhana. Pada penelitian ini proses pemutusan
rantai (hidrolisis) tersebut dilakukan secara kimiawi yaitu dengan menggunakan
larutan H2SO4. Keuntungan dari hidrolisis asam ini yaitu
reaksi lebih cepat, menghasilkan gula pereduksi yang lebih banyak, serta biaya
lebih murah dibandingkan dengan penggunaan enzim. Hidrolisis dengan menggunakan
asam encer juga memiliki kelemahan yaitu dapat menghasilkan senyawa-senyawa
tertentu yang bisa mengurangi kadar gula dan menghambat fermentasi. Senyawa
tersebut bisa berupa asam asetat dan fenolik yang merupakan degradasi dari
lignin. Selain itu, ada juga senyawa seperti furfural yang dapat menghambat
enzim privurat dehidrogenase sehingga akan menghambat sel dalam pembentukan
etanol.
Gambar
4.1 Hubungan
antara Konsentrasi H2SO4 dengan Kadar Glukosa
Gambar
4.1 merupakan hubungan antara konsentrasi H2SO4 yang
digunakan dalam proses hidrolisis terhadap kadar glukosa hasil hidrolisis.
Kadar glukosa yang paling tinggi terdapat pada konsentrasi H2SO4
0,5 N. Hal ini berarti bahwa konsentrasi H2SO4 0,5 N yang
paling bagus digunakan untuk menghasilkan gula pereduksi pada substrat tongkol
jagung. Pada konsentrasi H2SO4 0,5 N tidak terlalu banyak
asam dan tidak terlalu sedikit kandungan asamnya. Karena jika terlalu banyak
konsentrasi asamnya seperti pada konsentrasi 1 N, maka kandungan airnya akan
semakin sedikit. Lutfi S. (2010)
melakukan penelitian bioetanol dari rumput gajah dengan konsentrasi asam sulfat
pada saat hidrolisis yang paling bagus digunakan sebesar 0,5 N untuk menghasilkan
kadar glukosa yang maksimal pada suhu 100 oC selama 2 jam. Pada
proses hidrolisis, H2SO4 akan bereaksi membentuk gugus H+
dan SO4-. Gugus H+ memecah ikatan glikosidik
pada selulosa maupun hemiselulosa, sehingga akan terbentuk monomer-monomer gula
sederhana. Monomer yang dihasilkan masih dalam gugus radikal bebas, tapi dengan
adanya OH- dari air akan berikatan dengan gugus radikal membentuk
gugus glukosa. Dalam hal ini air berfungsi sebagai penstabil gugus radikal
bebas. Semakin banyak air yang terkandung dalam larutan asam, maka semakin
banyak juga yang menyetabilkan gugus radikal, sehingga glukosa-glukosa yang
terbentuk akan semakin banyak. Begitu juga sebaliknya semakin tinggi
konsentrasi asam, maka semakin sedikit kandungan air yang mengakibatkan glukosa yang terbentuk juga akan semakin
sedikit. Sedangkan pada konsentrasi 0,1 N dan 0,2 N, kandungan glukosa yang
dihasilkan lebh rendah daripada konsentrasi asam 0,5 N. Hal ini dikarenakan,
pada hidrolisis dengan menggunakan asam ini, jika konsentrasi asamnya terlalu
encer dapat mengakibatkan kemungkinan adanya senyawa degradasi dari lignin yang
terikut sehingga senyawa-senyawa tersebut bisa mengurangi kadar glukosa.
Gambar
4.2
Hubungan antara Konsentrasi H2SO4 dengan Kadar Alkohol
Gambar
4.2 menunjukan hubungan antara konsentrasi H2SO4 yang
digunakan saat hidrolisis dengan kadar alkohol setelah distilasi. Kadar alkohol
yang paling tinggi diperoleh dari konsentrasi H2SO4 0,5
N. Hal ini dikarenakan kadar glukosa pada konsentrasi asam 0,5 N ini adalah
yang paling tinggi, sehingga glukosa yang dirubah khamir menjadi alkohol juga
paling tinggi dibandingkan konsentrasi asam lainnya (0,1 N, 0,2 N, ataupun 1
N).
Setelah
diketahui kandungan glukosanya, selanjutnya dilakukan proses fermentasi. Pada
penelitian ini, proses fermentasi dilakukan dengan tiga variasi hari (3, 5, dan
7) dengan menggunakan fermipan yang berupa kamir Saccharomyces cerevisiae yang sudah
diserbukan.
Gambar
4.3
Hubungan antara Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol
Gambar 4.3
menunjukan hubungan antara waktu fermentasi dengan kadar alkohol setelah
distiasi. Kadar alkohol yang paling tinggi ditunjukan pada waktu fermentasi 7
hari baik itu pada variasi konsentrasi H2SO4 0,1 N, 0,2
N, 0,5 N, ataupun 1 N. Hal ini menunjukan bahwa semakin lama waktu fermentasi
maka alkohol yang dihasilkan akan semakin banyak. Begitu pula sebaliknya,
semakin singkat waktu fermentasi, maka alkohol yang dihasilkan juga akan
semakin sedikit. Pada proses fermentasi khamir (Saccharomyces cerevisiae) menggunakan glukosa untuk tumbuh dan
berkembang biak serta sebagian dikonversi menjadi produk metabolit seperti
alkohol. Semakin lama waktu fermentasi, maka semakin lama juga interaksi yang
dilakukan khamir (Saccharomyces
cerevisiae), sehingga menghasilkan produk metabolit yaitu alkohol semakin
banyak juga.
Gambar
4.4
Hubungan antara Kadar Glukosa dengan Kadar Alkohol
Gambar
4.4 menunjukan hubungan antara kadar glukosa hasil hidrolisis dengan kadar
alkohol hasil distilasi. Bahwa semakin tinggi kadar glukosa maka kadar alkohol
yang dihasilkan juga semakin tinggi. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah
kadar glukosa, maka kadar alkohol juga akan semakin sedikit. Semakin banyak
kadar glukosa artinya semakin banyak juga ketersedian nutrisi dari hasil
hidrolisis. Nutrisi dari hasil hidrolisis sebanding dengan jumlah enzim yang
dihasilkan oleh khamir (Saccharomyces
cerevisiae). Sehingga jika banyak nutrisi yang dapat memenuhi kebutuhan
khamir maka pembentukan alkohol juga menjadi optimum. Kadar
alkohol yang paling tinggi terdapat pada kadar glukosa sebesar 7,5% dengan
waktu fermentasi selama 7 hari. Hal ini menunjukan bahwa waktu fermentasi dan
kadar glukosa yang tinggi sangat mempengaruhi terhadap kadar alkohol yang akan
diperoleh.
BAB
V
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Kesimpulan
yang diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut.
1.
Pengaruh
konsentrasi katalis terhadap kadar glukosa adalah semakin tinggi konsentrasinya
maka kadar glukosa akan semakin tinggi, akan tetapi pada keadaan tertentu kadar
alkoholnya menurun, yaitu saat konsentrasi keasaaman (1
N).
2.
Pengaruh
waktu fermentasi terhadap kadar alkohol yang dihasilkan adalah semakin lama
waktu fermentasi, kadar alkoholnya semakin tinggi.
3.
Kadar bioetanol yang di dapat untuk hari ke 3, 5 dan 7 hari untuk
konsentrasi (0,1 N) adalah 4,5%, 7% dan 9%. Untuk konsentrasi (0,2 N) adalah 6,8%, 8,5%, dan 11%, untuk konsentrasi (0,5
N) adalah 7%, 10,5% dan 14%,
dan untuk konsentrasi (1 N) adalah 1%, 1,8% dan 2%.
5.2
Saran
Untuk penelitian berikutnya, sebaiknya saat proses
hidrolisa dalam waktu berkala harus dilakukan pengujian kadar glukosa agar
dapat terlihat waktu optimum kadar glukosa yang dihasilkan. Sedangkan
untuk proses distilasi
sebaiknya menggunakan distilasi vakum, untuk hasil yang lebih bagus.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim1, (2011). Tongkol Jagung.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/artikel-ppm-jagung2.doc
Diakses
tanggal 27 September 2011.
Anonim2, (2011). Hidrolisis asam.
http://isroi.com/hidrolisisasam
Diakses
tanggal 27 September 2011.
Bambang, P., (2007), Potensi
Sektor Pertanian Sebagai Hasil dan Pengguna Energi Terbarukan, Perspektif Vol. 6 No. 2 / Desember
2007. Hal 84 – 92.
Cole,B. dan Fort, R, (2007).
http:Chemistry_umeche_maine.edu/Fort/cole-Fort.html.
Diakses tanggal 25 September 2011.
Fanaei et.al, (2008).
http:Focusnigeria.com/biofuel-nigeria.htm
Diakses
tanggal 21 Desember 2011.
Fengel, D. dan Wegener, G., (1995), Kayu: Kimia, Ultra Struktur, Reaksi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Fessenden dan Fessenden, (1997), Kimia Organik edisi ketiga , PT
Erlangga,
Jakarta.
Fredy, P.,
(2011), Pemanfaatan Biomassa Tongkol Jagung menjadi Bioetanol, Jurnal Teknologi.
Gozan,
M., (2007), Sakarafikasi dan Fermentasi
Bagas Menjadi Etanol Menggunakan Enzim Sellulase dan Enzim Sellobiase, Jurnal
Teknologi8: 43-47.
Groggins, P.H., (1992), Unit Process In Organic Synthesis, Mc
Graw Hill Book
Company, New York.
Hambali, S.,
(2009), “Pemanfaatan Kulit Pisang dengan
Cara Fermentasi untuk Pembuatan Alkohol”, Majalah Bistek,Edisi
06/Th. VI/Desember, 20-28.
Lutfi S.,
(2010), Bioetanol dari Rumput Gajah
melalui Hidrolisis Menggunakan Asam Sulfat, Digital Library.
Nishizawa,
K., (1989), Degradation of cellulose and Hemicelluloses Biomass
Handbook, Gordon & Breach Science Publisher, New York.
Pelczar,
M. dan Chan., (1988), Dasar- Dasar
Mikrobiologi, UI Press, Jakarta.
Perry, R. H., (1999), Chemical Engineering Handbook, Mc. Graw Hill, New York.
Prihandana,
R., (2007), Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan, PT Agromedia Pustaka, Jakarta.
Said, G.,(1987),Bioindustri
Penerapan Teknologi Fermentasi Edisi 1, Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Schlegel, R. A., (2011)
http: bmb.psu.edu/directory/ur3
Diakses
tanggal 28 September 2011
Simamora,
S., (2008), Membuat Biogas Penggaanti Bahan Bakar Minyak Dan Gas,
Agromedia, Jakarta.
Sjostrom,
E., (1995), Kimia Kayu: Dasar-dasar
dan Penggunaan,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Suprapto, H.S. dan Rasyid, M.S., (2002), Bertanam Jagung, Penebar Swadaya, Jakarta.
Sudarmaji, S.,(1982),Prosedur Analisis Untuk Bahan Makanan, Liberty,Yogyakarta.
Tjokroadikoesoemo, S., (1986), HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
3 comments:
bolehkah saya minta jurnal lengkapnya mbak?
Mbak, tau lokasi pembuatan bioetanol dari tongkol jagung gak??
PUSAT SARANA BIOTEKNOLOGI AGRO
menyediakan ENZYM GLUCO AMYLASE untuk keperluan penelitian, laboratorium, mandiri, perusahaan .. hub 081805185805 / 0341-343111 atau kunjungi kami di https://www.tokopedia.com/indobiotech temukan juga berbagai kebutuhan anda lainnya seputar bioteknologi agro
Post a Comment