Wednesday 11 April 2012

BOD dan COD


BOD dan COD

Definisi BOD dan COD
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik (Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991). Ditegaskan lagi oleh Boyd (1990), bahwa bahan organik yang terdekomposisi dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic matter). Mays (1996) mengartikan BOD sebagai suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat diurai. Dari pengertianpengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan.
COD atau Chemical Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik yang terkandung dalam air (Boyd, 1990). Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan katalisator perak sulfat (Boyd, 1990; Metcalf & Eddy, 1991), sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada.
Oksigen demand adalah jumlah oksigen yang dipakai untuk bereaksi dengan oksigen atau biodegradable material, dissolved atau suspended dalam sample. Jumlah ini ditunjukkan dalam milligram oksigen per sample. Ketika agent yang dipakai untuk bereaksi dengan oksigen adalah populasoo bakteri, oksigen yang dipakai disebut BOD. Ketika oksidasi yang dipakai dengan reagen kimia seperti potassium dikromat, maka oksigen yang dipakai disebut COD.
Selain itu, yang mempengaruhi oksidasi material dalam sample air, termasuk pemanasan sample dalam furnace menggunakan oksigen, disebut TOD, atau yang menghasilkan karbondioksida dan pengukurannya dalam Total Carbondioksida Demand (TCO2D)
Faktor yang mempengaruhi hasil BOD adalah :
ü  Bibit biological yang dipakai
ü  pH jika tidak dekat dengan aslinya (netral)
ü  Temperatur jika selain 20 0C (68 0F) seperti yang ditunjukkan gambar 7.8.10
ü  Keracunan sampel
ü  Waktu inkubasi

Cara Pengukuran BOD dan COD
BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau KOB (kebutuhan oksigen biokimiawi) adalah suatu pernyataan untuk menyatakan jumlah oksigen yang diperlukan untuk degradasi biologis dari senyawa organik dalam suatu sampel. Pengukuran BOD dengan sendirinya digunakan sebagai dasar untuk mendeteksi kemampuan senyawa organik dapat didegradasi (diurai) secara biologis dalam air. Perbedaan antara BOD dan COD (Chemical Oxygen Demand) adalah bahwa COD menunjukkan senyawa organik yang tidak dapat didegradasi secara biologis.
Secara analitis BOD (biochemical oxygen demand) adalah jumlah mg oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan zat organik secara biokimiawi dalam 1 liter air selama pengeraman 5 x 24 jam pada suhu 20o oC. Sedangkan COD (chemical oxygen demand) atau KOK (kebutuhan oksigen kimiawi) adalah jumlah (mg) oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasikan zat organik dalam 1 liter air dengan menggunakan oksidator kalium dikromat selama 2 jam pada suhu 150 oC.
Prinsip pengukuran BOD pada dasarnya cukup sederhana, yaitu mengukur kandungan oksigen terlarut awal (DOi) dari sampel segera setelah pengambilan contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap (20oC) yang sering disebut dengan DO5. Selisih DOi dan DO5 (DOi - DO5) merupakan nilai BOD yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/L).
Pengukuran oksigen dapat dilakukan secara analitik dengan cara titrasi (metode Winkler, iodometri) atau dengan menggunakan alat yang disebut DO meter yang dilengkapi dengan probe khusus. Jadi pada prinsipnya dalam kondisi gelap, agar tidak terjadi proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen, dan dalam suhu yang tetap selama lima hari, diharapkan hanya terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganime, sehingga yang terjadi hanyalah penggunaan oksigen, dan oksigen tersisa ditera sebagai DO5. Yang penting diperhatikan dalam hal ini adalah mengupayakan agar masih ada oksigen tersisa pada pengamatan hari kelima sehingga DO5 tidak nol. Bila DO5 nol maka nilai BOD tidak dapat ditentukan.
Pada prakteknya, pengukuran BOD memerlukan kecermatan tertentu mengingat kondisi sampel atau perairan yang sangat bervariasi, sehingga kemungkinan diperlukan penetralan pH, pengenceran, aerasi, atau penambahan populasi bakteri. Pengenceran dan/atau aerasi diperlukan agar masih cukup tersisa oksigen pada hari kelima.
Secara rinci metode pengukuran BOD diuraikan dalam APHA (1989), Umaly dan Cuvin, 1988; Metcalf & Eddy, 1991) atau referensi mengenai analisis air lainnya. Karena melibatkan mikroorganisme (bakteri) sebagai pengurai bahan organik, maka analisis BOD memang cukup memerlukan waktu. Oksidasi biokimia adalah proses yang lambat. Dalam waktu 20 hari, oksidasi bahan organik karbon mencapai 95 – 99 %, dan dalam waktu 5 hari sekitar 60 – 70 % bahan organik telah terdekomposisi (Metcalf & Eddy, 1991). Lima hari inkubasi adalah kesepakatan umum dalam penentuan BOD. Bisa saja BOD ditentukan dengan menggunakan waktu inkubasi yang berbeda, asalkan dengan menyebutkan lama waktu tersebut dalam nilai yang dilaporkan (misal BOD7, BOD10) agar tidak salah dalam interpretasi atau memperbandingkan. Temperatur 20oC dalam inkubasi juga merupakan temperatur standard. Temperatur 20oC adalah nilai rata-rata temperatur sungai beraliran lambat di daerah beriklim sedang (Metcalf & Eddy, 1991) dimana teori BOD ini berasal.
Untuk daerah tropik seperti Indonesia, bisa jadi temperatur inkubasi ini tidaklah tepat. Temperatur perairan tropik umumnya berkisar antara 25 – 30oC, dengan temperatur inkubasi yang relatif lebih rendah bisa jadi aktivitas bakteri pengurai juga lebih rendah dan tidak optimal sebagaimana yang diharapkan. Ini adalah salah satu kelemahan lain BOD selain waktu penentuan yang lama tersebut. Metode pengukuran COD sedikit lebih kompleks, karena menggunakan peralatan khusus reflux, penggunaan asam pekat, pemanasan, dan titrasi (APHA, 1989, Umaly dan Cuvin, 1988). Peralatan reflux diperlukan untuk menghindari berkurangnya air sampel karena pemanasan.
Pada prinsipnya pengukuran COD adalah penambahan sejumlah tertentu kalium bikromat (K2Cr2O7) sebagai oksidator pada sampel (dengan volume diketahui) yang telah ditambahkan asam pekat dan katalis perak sulfat, kemudian dipanaskan selama beberapa waktu. Selanjutnya, kelebihan kalium bikromat ditera dengan cara titrasi. Dengan demikian kalium bikromat yang terpakai untuk oksidasi bahan organik dalam sampel dapat dihitung dan nilai COD dapat ditentukan. Kelemahannya, senyawa kompleks anorganik yang ada di perairan yang dapat teroksidasi juga ikut dalam reaksi (De Santo, 1978), sehingga dalam kasus-kasus tertentu nilai COD mungkin sedikit ‘over estimate’ untuk gambaran kandungan bahan organik. Bilamana nilai BOD baru dapat diketahui setelah waktu inkubasi lima hari, maka nilai COD dapat segera diketahui setelah satu atau dua jam. Walaupun jumlah total bahan organik dapat diketahui melalui COD dengan waktu penentuan yang lebih cepat, nilai BOD masih tetap diperlukan. Dengan mengetahui nilai BOD, akan diketahui proporsi jumlah bahan organik yang mudah urai (biodegradable), dan ini akan memberikan gambaran jumlah oksigen yang akan terpakai untuk dekomposisi di perairan dalam sepekan (5 hari) mendatang. Lalu dengan memperbandingkan nilai BOD terhadap COD juga akan diketahui seberapa besar jumlah bahan-bahan organik yang lebih persisten yang ada di perairan.

PROSEDUR 5-HARI BOD
Jika sampel air BOD pada 20 0C diukur berdasarkan fungsi waktu, maka akan diperoleh kurva seperti gambar 7.8.10.untuk 10 sd 15 hari, kurva mendekati eksponensial, tapi sekitar 15 hari, kurva meningkat tajam yang menurunkankan kestabilan laju BOD. Karena panjangnya waktu dan kurvanya tidak datar, maka para engineer lingkungan mengambil secara universal untuk test standar pada 5 hari untuk prosedur BOD.

TEST BOD MANOMETRIK
Dalam standar metode dilusi, semua oksigen yang dipakai dalam botol BOD ditutup rapat pada awal-awal inkubasi, tidak boleh udara masuk kedalam sample. Pada manometrik, bibit sample dibatasi dalam system tertutup dan termasuk sejumlah udara. Oksigen dalam air dikosongkan, kemudian diisi dengan fase gas. Oksigen hilang dari fase udara karena didorong tekanan manometer. Dorongan ini terhubung ke sample BOD.
Metoda manometrik, tekananya bisa dikontrol secra kontinyu.

TAKSIRAN BOD DALAM SEMENIT
            Bioreactor dimasukkan dengan beberapa cincin plastic, pompa sirkulasi mendistribusikan secara cepat limbah kedalam bioreactor dan menjaga gerakan cincin plastic kontinyu. Konsentrasi limbah dalam reactor constant low value, menghasilkan oksigen demand (OD) sekitar 3 mg/l
COD
Sample dipanaskan sampai titik didihnya dengan sejumlah asam sulfur dan potassium dikromat. Gunakan kondensor refluks untuk meminimasi kehilangan air. Setelah 2 hari, larutan didinginkan dan hitung jumlah dikromat yang bereaksi dengan oksigen dalam air dengan cara titrasi kelebihan potassium dikromat dengan ferrous sulfat (ferrous 1,10-phenanthralin (ferroin) sebagai indicator).
Factor yang menghalangi tes COD :
1.      Banyak material organic dioksidasi oleh dikromat tapi tidak secara biokimia oksidasi .
2.      Sejumlah substan anorganik seperti sulfide, sulfite, thio sulfat, nitrit, ferrous iron dioksidasi dikromat menghasilkan COD anorganik yang menyesatkan ketika kandungan organic limbah cair diukur.
3.      Clorida dengan analisa COD dan efeknya harus diminimasi untuk hasil yang konsisten.

DETECTOR COD
Digunakan dalam prosedur dikromat untuk operasi manual dan operasi otomatis online. Keuntungannya, bisa mengurangi analisa waktu dari hari (5-hari BOD) dan berjam-jam (dikromat dan respirometer) menjadi beberapa menit.

DESAIN OTOMATIS ONLINE
Gambar 7.8.13 menunjukkan penganalisa online dengan range COD dari 0 – 100 ppm sampai dengan 0 – 5000 ppm, selama 10 menit sampai 5 jam. Aliran sample dengan laju 0,25 gpm (1,0 lpm) dan mengandung partikel solid 100µ.
sampel diinjeksi 5-cc ke reflux chamber, setelah dicampur dengan air tambahan (jika ada) dan 2 reagent : larutan dikromat dan asam sulfur. Kemudian dipanaskan 302 0F (1500C) dan air pendingin dalam refluks condenser mengembunkan uap. Ion crom memberikan warna hijau larutan. Konsentrasi COD diukur dari jumlah dikromat yang berubah menjadi ion crom dengan mengukur intensitas warna hijau melalui detector fiber-optik.
TOD
Metoda TOD berdasarkan pengukuran kuantitatif oksigen yang seharusnya membakar pengotor dalam sample liquid.
Penganalisa TOD mengubah komponen oksidasi dalam sample liquid dalam tube pembakaran menjadi oksida stabil dengan menggunakan sebuah  reaksi yang mengganggu kesetimbangan oksigen dalam aliran gas.

Hubungan antara BOD, COD dan TOD
  1. Hubungan statistic antara limbah cair BOD dan COD, TOC atau TOD bisa dicapai, ketika kekuatan organic tinggi dan perbedaan konstituen dissolved oksigen (DO) rendah.
  2. Hubungan yang paling baik digambarkan oleh kuadrat regresi dengan derajat koefisien korelsi.
  3. Hubungan COD-TOD lebih baik dibandingkan COD-BOD untuk limbah cair
  4. Perbandingan BOD-COD atau BOD-TOC yang tidak disukai adalah indikasi pengolahan limbah cair secara biologi. Jika perbandingan meningkat, maka kandungan organic akan hilang lebih cepat dengan metoda biological.

FEEDING LIMBAH


Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab pencemaran terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat. Limbah industri kebanyakan menghaslkan limbah yang bersifat cair atau padat yang masih kaya dengan zat organik yang mudah mengalami peruraian. Kebanyakan industri yang ada membuang limbahnya ke perairan terbuka, seingga dalam waktu yang relatif singkat akan terjadi bau busuk sebagai akibat terjadinya fermentasi limbah. Sebagian pengusaha industri yang akan membuang limbah diwajibkan mengolah terlebih dahulu untuk mencegah pencemaran lingkungan hidup disekitarnya.
Limbah cair pabrik kelapa sawit ialah buangan yang dihasilkan pada saat proses kelapa sawit yang berbentuk cair atau liquid. Limbah yang mengandung senyawa organik umumnya dapat dirombak oleh bakteri dan dapat dikendalikan secara biologis. Limbah cair PKS mengandung padatan melayan dan terlarut maupun emulsi minyak dalam air. Limbah yang langsung dibuang ke sungai sebagian akan mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang sangat tajam, dan dapat merusak daerah pembiakan ikan. Bahan buangan yang dihasilkan dari kegiatan industri dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya akan mengganggu atau mempengaruhi kehidupan masyarakat itu sendiri. Dampak dari kegiatan industri yang berpengaruh buruk tersebut terutama disebabkan oleh bahan-bahan pencemar yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik industri. Limbah cair PKS juga mengandung minyak yang akan mempengaruhi aktifitas bakteri, yaitu minyak tersebut berperan sebagai isolasi antara substrat dengan bakteri dan bila bereaksi dengan alkali dapat membentuk sabun berbusa yang sering mengapung dipermukaan kolam dan bercampur dengan benda–benda yang lain. Dengan banyaknya zat pencemar yang ada di dalam air limbah, maka akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut di dalam air limbah. Dengan demikian akan menyebabkan kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen seperti ikan, bakteri-bakteri dan tanaman atau tumbuhan air akan terganggu dan terhambat perkembangannya. Selain kematian kehidupan di dalam air disebabkan karena kurangnya oksigen di dalam air dapat juga karena adanya zat beracun yang berada di dalam air limbah tersebut. Limbah cair pabrik kelapa sawit memiliki potensi sebagai pencemar lingkungan karena berbau, mengandung kadar minyak/lemak, nilai COD dan BOD serta padatan tersuspensi yang tinggi, sehingga perlu pengolahan lebih lanjut supaya limbah organik tersebut dapat diolah secara maksimal pada pH yang netral yaitu pH yang cocok bagi bakteri pengurai, sebelum dibuang kebadan sungai, sehingga air tersebut dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan terutama dalam mendukung kehidupan biota yang ada disungai tersebut.
Bila air limbah minyak kelapa sawit tidak terlebih dahulu diolah akan mengakibatkan terjadinya proses pembusukan di badan air penerima (outlet). Proses pembusukan mengakibatkan berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air, sehingga akan mengganggu kehidupan mikroorganisme air. Air limbah industri yang belum diolah tersebut bila dibuang langsung ke sungai akan mengubah pH air yang dapat mengganggu kehidupan organisme sungai. Melihat dampak yang ditimbulkan limbah pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang diperlukan langkah pencegahan, penanggulangan dan pengelolaan limbah cair PKS lebih serius. Antara lain upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif pencemaran lingkungan adalah penurunan kadar minyak limbah kelapa sawit, penurunan nilai BOD dan COD.
Untuk menghasilkan limbah cair (effluent) yang layak dan aman bagi lingkungan, maka PKS GMK Satui melakukan pengendalian limbah secara biologis (sistem kolam anaerob dan aerob) dan secara kimiawi dengan menambahkan bahan-bahan kimia seperti soda ash dan janjang kosong agar menguragi logam-logam berat serta padatan-padatan yang terkandung pada limbah cair tersebut.
4.2 Tujuan
Tujuan dari tugas khusus ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pH limbah dan alkalinitas limbah agar diketahui apakah bakteri dalam limbah masih mampu bertahan atau tidak untuk mengolah limbah yang ada.
2.      Agar diketahui kapasitas atau kemampuan bakteri yang cocok untuk mengubah limbah PKS menjadi limbah yang tidak berbahaya bagi lingkungan.

4.3 Metodologi
            Pada analisa limbah cair PKS ini biasanya disebut dengan feeding limbah. Mengambil limbah jadi 10 L dan masing-masing dimasukan ke dalam ember sebanyak 3 ember dan ditutup. Mengukur pH dan alkanitas awal limbah dalam ember. Untuk mengukur alkalinitas, ambil sampel limbah sebanyak 10 mL kemudian dimasukan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 5 tetes indikator Methyl Orange, lalu dititrasi dengan H2SO4 0,1017N, catat volum titrasinya. Sedangkan untuk mengukur pH menggunakan kertas lakmus yang dicelupkan pada sampel.
            Setelah 4 jam, ukur lagi pH dan alkalinitas limbah di dalam ember. Setelah itu, tambahkan limbah mentah ke dalam limbah jadi yang ada di ember dengan variasi pada ember A:5%, B:10%, dan C:15%. Atau pada ember A ditambahkan 250 mL limbah mentah, pada ember B ditambahkan 500 mL limbah mentah, dan pada ember C ditambahkan 750 mL limbah mentah.
            Untuk hari ke 2 (setelah 24 jam), ukur pH dan alkalinitas limbah dalam masing-masing ember. Kemudian tambahkan limbah mentah, 250 mL pada ember A, 500 mL pada ember B, 750 mL pada ember C. Setelah 4 jam, ukur kembali pH dan alkalinitas, lalu tambahkan limbah mentah ke masing-masing ember dengan perbandingan variasi sama seperti sebelumnya.
            Untuk hari ke 3 sampai ke 6, mengulangi langkah seperti hari ke 2.


4.4 Hasil dan Pembahasan
4.4.1 Hasil Pengamatan
Tabel 4.1 Hasil Pengamatan pH dan Volum Titrasi pada Limbah Cair
Hari ke
pH
Volum Titrasi (mL)
A
B
C
A
B
C
1
8.00
8
8
8
5,6
5,6
5,6
11.00
8
8
8
5,6
5,6
5,6
2
8.00
8
8
8
5,6
5,0
5,1
11.00
8
8
8
5,5
5,3
5,1
3
8.00
8
8
8
5,2
4,8
4,6
11.00
8
7
6
4,8
4,3
4,2
4
8.00
7
6
5
5,1
4,7
4,4
11.00
7
6
5
4,9
4,1
3,8
5
8.00
7
6
5
4,6
3,4
3,1
11.00
7
6
5
3,9
3,4
2,8
6
8.00
7
6
5
4,5
3,6
3,5













4.4.2 Hasil Perhitungan
Tabel 4.2 Hasil Perhitungan pH dan Alkalinitas pada Limbah Cair
Hari ke
pH rata-rata
Alkalinitas rata-rata
A
B
C
A
B
C
1
8
8
8
2847,60
2847,60
2847,60
2
8
8
8
2822,18
2618,78
2593,35
3
8
7,5
7
2542,50
2313,68
2237,40
4
7
6
5
2542,50
2237,40
2084,85
5
7
6
5
2161,13
1728,90
1500,08
6
7
6
5
2288,25
1830,60
1779,75











4.4.3 Pembahasan
            Limbah cair PKS bersifat asam, sehingga untuk mengetahui bakteri dalam kolam limbah masih berfungsi (hidup) atau tidak disini dilakukan dengan cara menganalisis pH dan alkalinitas dari sampel kolam limbah tersebut. pH merupakan angka yang digunakan untuk menunjukkan intensitas asam dan basa suatu larutan. Sedangkan alkalinitas merupakan pengukuran yang menunjukan kemampuan suatu larutan untuk menetralkan asam.
Gambar 4.1 Hubungan Hari dengan pH pada Limbah Cair
Dari gambar 4.1 menunjukan bahwa pada hari-hari terakhir (5 dan 6), pH bakteri yang terdapat pada limbah A, B, maupun C semakin menurun atau semakin asam. Gambar 4.1 juga menunjukan bahwa hanya bakteri pada limbah A (variasi 5%) yang masih sanggup bertahan hidup hingga hari ke 6 dapat dilihat bahwa pH pada bakteri limbah A dalam keadaan netral (pH = 7). Sedangkan bakteri pada limbah B (variasi 10%) dan limbah C (15%) pH-nya sudah dibawah 7. Hal ini berarti bakteri pada limbah B dan limbah C sudah tidak mampu mengubah limbah mentah menjadi limbah jadi. Disebabkan bakteri pada limbah B dan limbah C tidak mampu bertahan hidup di suasana asam (pH < 7). Bakteri di dalam limbah hanya mampu hidup pada keadaan basa atau pada keadaan netral (pH ≥ 7).
Gambar 4.2 Hubungan Hari dengan Alkalinitas pada Limbah Cair
Gambar 4.2 menunjukan hubungan hari dengan alkalinitas pada limbah cair. Semakin hari, maka alkalinitas limbah cair juga menurun. Alkalinitas limbah cair menurun berarti kemampuan bakteri pada limbah cair untuk menetralkan asam dari limbah mentah PKS juga menurun. Hal ini dikarenakan bakteri pada limbah cair PKS tidak mampu bertahan hidup karena terlalu banyak limbah mentah yang diberikan (suasana menjadi terlalu asam atau kelebihan asam).
Alkalinitas limbah A pada hari ke 6 masih > 2000. Hal ini menunjukan bahwa bakteri pada limbah A masih sanggup bertahan dan masih mampu mengubah limbah mentah menjadi limbah cair. Sedangkan alkalinitas pada limbah B dan limbah C sudah < 2000, yang menunjukan bahwa bakteri di dalam limbah B dan limbah C sudah tidak mampu bertahan dan tidak mampu mengubah limbah mentah menjadi limbah jadi lagi.
Gambar 4.3 Hubungan pH dengan Alkalinitas
Gambar 4.3 menunjukan bahwa semakin tinggi pH, maka alkalinitas limbah juga akan semakin besar. Pada limbah di ember A dapat terlihat pH besar dan alkalinitas besar daripada dibandingkan limbah B dan limbah C. Hal ini menunjukan bahwa limbah A (limbah mentah 5%) adalah yang paling bagus. Karena bakteri pada limbah A masih hidup dan masih mampu menetralkan asam dari limbah mentah.
Dari ketiga ember tersebut, dapat dilihat bahwa yang memungkinkan untuk diaplikasikan ke kolam limbah PKS yaitu pemberian limbah mentah 5% (ember A). Dikarenakan pada pemberian limbah mentah 5% ini, pH masih dalam keadaan neral dan alkalinitas lebih dar 2000 sehingga bakteri masih bisa bertahan hidup dan masih dapat mengubah limbah mentah menjadi limbah jadi.